MAKALAH
DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN
“ Pengaruh
Kedalaman Air Terhadap Kematian Massal Pada Tambak Udang di Desa Jangka Nangroe
Aceh Darussalam (NAD) ”
Disusun
oleh:
Ika Aulia
Ramadanita 26010311130031
Lana Izzul Azkia 26010311190092
Lana Izzul Azkia 26010311190092
Dicka Ayu P 26010311130082
Mubaroq Gian
Ginanjar 26010311130077
Anglauna Bainery S 26010311130055
Anglauna Bainery S 26010311130055
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
Semarang
2012
I. PENDAHULUAN
Perairan tambak dapat dianalogikan sebagai ‘rumah’ dan lingkungan tempat
dimana udang tinggal dan melakukan aktifitasnya serta berinteraksi dengan
organisme lainnya. Pengelolaan kualitas air tambak sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan udang berarti menyediakan tempat tinggal bagi udang sehingga udang
merasa ‘betah’ hidup di dalamnya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan
normal di lingkungannya. Sebagai upaya menciptakan kondisi tersebut, maka
sebelum menyiapkan tempat tinggal yang nyaman bagi udang perlu dipertimbangkan
sifat dan behaviour udang agar lingkungan perairan sesuai dengan karakteristik
sifatnya, yaitu antara lain ;
1.Udang
bersifat demersal, yaitu hidup di dasar perairan sehingga dalam pengelolaan
kualitas air perlu mempertimbangkan kondisi dasar tambak yang dibutuhkan udang.
2. Udang
bersifat nocturnal, yaitu aktif pada malam hari sehingga perairan tambak perlu
disesuaikan dengan proses biologi, kimia, fisika dan ekologi yang terjadi di
dalamnya terutama pada malam hari.
3. Udang
bersifat phototaksis negatif, yaitu menghindari adanya cahaya secara langsung.
Sifat ini berhubungan dengan pengelolaan kecerahan air tambak yang dapat
menghalangi penetrasi cahaya secara langsung.
4. Kanibalisme,
yaitu pemangsaan yang dilakukan udang terhadap udang lainnya yang lebih lemah.
Sebagai usaha mengurangi terjadinya kanibalisme maka perairan tambak perlu
didukung dengan ketersediaan pakan alami yang cukup dan kondisi dasar tambak
memungkinkan bagi udang yang berada dalam kondisi lemah untuk berlindung dari
pemangsaan.
5. Moulting,
yaitu proses alami pertumbuhan udang dengan cara berganti kulit atau sebagai
respons terhadap perubahan lingkungan yang bersifat drastis.Pengelolaan air
tambak sedapat mungkin tidak menimbulkan guncangan terhadap keseimbangan
perairan agar tidak terjadi moulting massal, karena pada saat moulting udang
berada dalam kondisi yang lemah dan sangat rentan terhadap penyakit dan
pemangsaan.
6.Tingkat
kebutuhan udang terhadap kualitas perairan relatif berubah berdasarkan umur udang.
Pengelolaan kualitas air tambak yang tidak memperhatikan kondisi, kebutuhan dan
sifat udang akan menyebabkan bertambahnya tingkat ‘kegelisahan’ udang di dalam
tambak dan selalu berusaha untuk keluar dari lingkungan tersebut, meskipun
kualitas air tambak sudah sesuai dengan tolok ukur yang digunakan. Pada kondisi
seperti ini udang menunjukkan perilaku yang tidak normal dari biasanya sebagai
indikator adanya ketidaksesuaian kualitas perairan dengan kebutuhan udang.
Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas perairan
adalah sebagai berikut :
1.Kecerahan
air tambak.
2.Warna
air tambak.
3.Kondisi
dasar tambak
II. TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen kualitas air
mempunyai peran yang sangat penting pada keberhasilan budidaya udang.
Air, sebagai media hidup udang, berpengaruh langsung terhadap
kesehatan dan pertumbuhannya. Kualitas air menentukan keberadaan
berbagai jenis organisme yang ada dalam ekosistem tambak, baik terhadap kultivan
yang dibudidayakan maupun biota lainnya sebagai penyusun ekosistem
tambak tersebut. Kualitas air yang jauh dari nilai optimal
dapat menyebabkan kegagalan budidaya, sebaliknya kualitas air yang optimal
dapat mendukung pertumbuhan dan kelulushidupan udang.
Kriteria penentuan kualitas air terus mengalami perkembangan.
Sebelum abad ke 20, penentuan kriteria kualitas air hanya
berdasarkan pada hasil analisis fisika-kimia air. Pada awal abad ke
20 para ahli mulai melakukan penelitian dan studi tentang biota perairan,
baik mengenai individu maupun struktur komunitas (Basmi, 2000). Pengukuran secara kualitatif maupun kuantitatif
atas biota yang menghuni suatu perairan dapat menjelaskan kondisi
kualitas air perairan tersebut. Hal ini dikarenakan faktor fisika-kimia
air berpengaruh langsung terhadap kehidupan biota yang ada di dalamnya.
Udang, sebagai hewan demersal, sangat dipengaruhi oleh kondisi
dasar tambak, baik dari komponen abiotik maupun biotik sebagai
penyusun ekosistem tambak. Akan tetapi, manajemen dasar
tambak masih kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan manajemen
kualitas air. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa adanya hubungan
yang sangat erat antara fenomena yang terjadi di dasar tambak dengan
kualitas air
(Boyd et al., 2002).
Berdasarkan
pada berbagai informasi yang ditemukan peneliti, diharapkan dapat
digunakan sebagai dasar penentuan kualitas lingkungan tambak
dan pengelolaannya untuk budidaya udang terutama untuk menentukan
tingkat kesuburan tambak sebelum penebaran benih udang. Kualitas air dalam budidaya perairan
meliputi faktor fisika, kimia dan biologi air yang dapat
mempengaruhi produksi budidaya perairan (Boyd, 1990).
Udang sangat peka
terhadap perubahan kualitas air. Kualitas air yang
buruk dapat mengakibatkan rendahnya tingkat kelangsungan hidup (survival
rate), pertumbuhan dan reproduksi udang. Sebagian besar
manajemen kualitas air ditujukan untuk memperbaiki kondisi kimia dan
biologi dalam media budidaya (Boyd et al., 2002).
Faktor fisika sering
tidak dapat dikontrol atau tergantung dengan pemilihan lokasi yang sesuai.
Faktor fisika sangat tergantung dengan kondisi geologi dan iklim suatu
tempat (Boyd, 1900).
Air yang digunakan untuk
budidaya udang atau organisme perairan yang lain mempunyai komposisi dan
sifat-sifat kimia yang berbeda dan tidak konstan. Komposisi dan
sifat-sifat kimia air ini dapat diketahui melalui analisis kimia
air. Dengan demikian apabila ada parameter kimia yang keluar dari batas
yang telah ditentukan dapat segera dikendalikan. Parameter-parameter
kimia yang digunakan untuk menganalisis air bagi kepentingan budidaya
antara lain :
a. Salinitas
Salinitas dapat
didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion terlarut dalam air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil
(°/oo) atau ppt (part perthousand) atau gram/liter.
Tujuh ion utama yaitu : sodium, potasium, kalium, magnesium,
klorida, sulfat dan bikarbonat mempunyai kontribusi besar terhadap
besarnya salinitas, sedangkan yang lain dianggap kecil (Boyd, 1990).
Sedangkan menurut Davis
et al. (2004), ion calsium (Ca), potasium (K), dan magnesium (Mg)
merupakan ion yang paling penting dalam menopang tingkat kelulushidupan
udang. Salinitas suatu perairan dapat ditentukan dengan menghitung
jumlah kadar klor yang ada dalam suatu sampel (klorinitas). Sebagian
besar petambak membudidayakan udang dalam air payau (15-30 ppt). Meskipun
demikian, udang laut mampu hidup pada salinitas dibawah 2 ppt dan di atas
40 ppt.
b. pH
pH didefinisikan sebagai
logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H+] yang mempunyai
skala antara 0 sampai 14. pH mengindikasikan apakah air tersebut
netral, basa atau asam. Air dengan pH dibawah 7
termasuk asam dan diatas 7 termasuk basa. pH merupakan variabel
kualitas air yang dinamis dan berfluktuasi sepanjang hari. Pada
perairan umum yang tidak dipengaruhi aktivitas biologis yang tinggi,
nilai pH jarang mencapai diatas 8,5, tetapi pada tambak ikan atau udang,
pH air dapat mencapai 9 atau lebih
(Boyd, 2002).
Oksigen terlarut
merupakan variabel kualitas air yang sangat penting dalam budidaya udang. Semua organisme akuatik membutuhkan oksigen terlarut untuk metabolism. Kelarutan
oksigen dalam air tergantung pada suhu dan salinitas. Kelaruran oksigen
akan turun jika suhu dan temperatur naik. Hal ini perlu diperhatikan
karena dengan adanya kenaikan suhu air, hewan air akan lebih aktif
sehingga memerlukan lebih banyak oksigen. Oksigen masuk dalam air melalui
beberapa proses. Oksigen dapat terdifusi secara langsung dari atmosfir
setelah terjadi kontak antara permukaan air dengan udara yang mengandung oksigen
21%
(Boyd, 1990).
Fotosintesis tumbuhan
air merupakan sumber utama oksigen terlarut dalam air. Sedangkan dalam
budidaya udang, penambahan suplai oksigen dilakukan dengan menggunakan
aerator (Hargreaves, 2003)
III. STUDI KASUS
Ilustrasi studi kasus
di Desa Jangka NAD:
Pukul 10
Pagi di tengah tambak yang mulai menyengat, pak Amir sedang memompa air tambak.
Sarung dan topinya yang lusuh mendukung mukanya yang lesu. Di balik suasana
yang kurang bersahabat ini ternyata telah terjadi kematian massal udang yang
akan panen sekitar sebulan lagi.
Sama dengan hampir
semua petambak tradisional lain, pak Amir
juga tak tahu mengapa tiba-tiba udangnya mati secara massal. Kelulushidupan
terutama berhubungan dengan kualitas air. Petani tradisional tak pernah
dilengkapi dengan peralatan kualitas air modern. Mereka pun tak tahu cara
mengukur kualitas air yang bagus secara modern.
Analisis:
Hasil
pengamatan lahan dan pengecekan kualitas air dibeberapa tempat di Kecamatan Jangka
(Desa Jangka Mesjid, Pante Paku, Pante Ranub) selama 24 jam memperlihatkan
suatu yang memperhatinkan. Pada umumnya kedalaman air cukup dangkal sekitar 40
cm (caren keliling 70 cm)sehingga kualitas air naik turun drastis. Tambak –
tambak juga kehilangan pohon mangrove/bakau sebagai penjaga iklim setempat.
Ketinggian saluran keluar air yang sama atau lebih tinggi dari dasar tambak
menyebabkan air tambak tidak bisa keluar total.
Dua
kualitas air yang jelas terpengaruh oleh kondisi itu adalah suhu dan kelarutan
zat napas dalam air (DO). Tambak yang dangkal menyebabkan suhu air mudah
berubah karena massa air sedikit. Tidak adanya pepohonan disekitar tambak
menambah parah naik turunnya suhu. Tambak dangkal juga mendorong pertumbuhan
lumut didasar tambak
(klekap) bukan tanaman renik (fitoplanton/tanaman yang sangat kecil),
menurunkan produksi hewan renik (ukuran sangat kecil) dalam air dan hasilnya
menurunkan hasil udang. Suhu tinggi juga menurunkan kelarutan zat napas dalam
air.
Dasar
saluran keluar air yang rendah juga menyebabkan pengeringan tambak tidak
sempurna sehingga berakibat tinggi nya bangkai makhluk hidup didasar tambak.
Bangkai
makhluk hidup yang tinggi meningkatkan jumlah hewan didasar tambak. Sebagian
penguraian bangkai makhluk hidup akan meningkatkan jumlah tumbuhan renik. Akan
tetapi, bangkai hewan dasar tambak dan tumbuhan renik yang terlalu tinggi akan
menurunkan zat napas secara drastis terutama ketika tumbuhan renik tidak
menghasilkan zat napas pada malam hari atau ketika mendung.
Pada pagi
hari zat napas yang larut dalam air jatuh pada level sangat rendah (+1 ppm
padahal standar budidaya harus melebihi 3 ppm). Bahkan pada beberapa tambak
kelarutan zat napas amat sangat rendah (dibawah 1 ppm) padahal air jernih dan
kondisi air dangkal (20 cm). Ini menunjukkan bahwa banyak makhluk hidup di dsar
tambak yang menggunakan zat napas. Suhu air juga cukup tinggi pada sore hari
yakni mencapai 37o C. Batas syarat suhu paling tinggi untuk budidaya
udang adala 32o C. Naik turunnya suhu yang drastis akan mengganggu
jalannya proses kehidupan dalam tubuh udang.
Beberapa petani juga mengatakan
bahwa banyak kegagalan budidaya udang terjadi setelah hujan. Hal ini bisa
dipahami karena saat hujan keasinan air, suhu, dan keasaman air turun drastis
(ditambah adanya tanah asam).
IV. ANALISA KASUS
Kasus seperti yang telah dijelaskan pada bab studi kasus yaitu kematian
massal secara mendadak pada budidaya udang yang akan dipanen tersebut
disebabkan oleh faktor abiotik. Faktor abiotik yang terpenting di sini antara
lain adalah suhu dan DO (Dissolved Oxygen).
Faktor-faktor tersebut juga sangat dipengaruhi oleh satu sebab yaitu pendangkalan
air. Pendangkalan air yang terjadi pada tambak udang tersebut disebabkan karena pohon bakau/mangrove di
sekitar tambak yang sudah hampir tidak ada lagi padahal peran pohin bakau/mangrove
pada tambak sangatlah penting yaitu sebagai pencegah intrusi laut dan sebagai
penyedia bahan pakan organik bagi biota air khususnya udang yang ada dalam
tambak tersebut. Namun, jika pohon mangrove/bakau saja sudah hampir tidak ada,
maka bahan oakan irganik bagi udang pun semakin berkurang.
Sebuah tambak ideal harus memiliki kedalamaan ± 1-1,5 m , tetapi ada tambak
tersebut ketika terjadi kematian massal hanya memiliki ketinggian sebesar 40 cm
(dengan keliling caren 70 cm). Pendangkalan tambak ini sangat mempengaruhi
kualitas air termasuk suhu air dan DO. Pendangkalan menyebabkan fluktuasi suhu atau perubahan
secara tidak menentu pada suhu tambak karena massa air pada tambak yang berkurang. Tidak adanya pepohonan bakau/mangrove
disekitar
tambak menambah parah naik turunnya suhu. Suhu yang ditemukan saat terjadi kematian massal adalah
sebesar 37oC, padahal seharusnya suhu ideal untuk budidaya udang di
tambak adalah sebesar 32oC. Hal ini semakin memperparah kondisi
biota yang ada di dalamnya. Suhu
tinggi tersebut
menurunkan kelarutan zat napas dalam air yang artinya biota-biota di dalamnya khususnya udang
semakin susah dalam bernapas atau semakin susah mendapatkan oksigen.
Kenaikan
suhu air akan menimbulkan akibat sebagai berikut:
1)
Jumlah oksigen terlarut di dalam
air menurun;
2)
Kecepatan reaksi kimia meningkat;
3)
Kehidupan ikan dan hewan air
lainnya terganggu
Kenaikan suhu menyebabkan berkurangnya kandungan oksigen terlarut dalam
air. Pada tambak yang terjadi kematian massal jumlah oksigen terlarut yang
ditemukan hanya >1 ppm -1 ppm. Hal ini sangat memperburuk kondisi tambak
karena ideal suatu tambak udang harus memiliki kandungan oksigen 5-8 mg/l.
Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l
(Mayunar et al., 1995; Akbar, 2001)
Tambak
yang dangkal juga mendorong pertumbuhan
lumut didasar tambak (klekap), menurunkan produksi hewan renik (ukuran sangat
kecil) dalam air dan hasilnya menurunkan hasil udang sehingga terjadi penurunan
hasil udang bahkan mortalitas atau kematian mendadak pada budidaya udang
tersebut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Mortalitas merupakan penyeimbang
dalam suatu budidaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas antara lain
adalah faktor abiotik. Dalam kasus ini faktor abiotik yang mempengaruhi adalah
suhu dan DO (Dissolved Oxygen). Terjadi fluktuasi suhu secara drastis dan
berkurangnya DO dalam tambak yang menyebabkan adanya kematian massal. Penyebab
utama dari hal tersebut terjadi adalah karena pendangkalan air pada tambak dan
berkurangnya ekosistem pohon mangrove/bakau di sekitar tambak.
4.2. Saran
Saran atau solusi yang dapat
diambil untuk mengatasi/mencegah kasus yang telah dibahas antara lain: Untuk
mengurangi adanya fluktuasi suhu secara drastis dapat diatasi dengan cara
meninggikan kedalaman air tambak, menanam pohon bakau/mangrove di sekitar
tambak. Sedangkan untuk mengatasi berkurangnya DO (Dissolved Oxygen),
air harus dijaga agar tidak terlalu keruh dengan cara menggunakan kincir air.
Penempatan 1 kincir air mampu memperbaiki kelarutan oksigen pada tambak
tradisional yang mengalami penurunan DO (Dissolved Oxygen).
DAFTAR PUSTAKA
Basmi, J. 1999. Planktonologi : Chrysophyta-Diatom Penuntun
Identifikasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Boyd, C.E., Wood, C.W., Thunjai T. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality
Management. Pond Dynamic/ Aquaculture Collaborative Research Support
Programe, Oregon State university, Corvallis, Oregon.
Hargreaves,
John A. 1999. Control of Clay Turbidity in Ponds. Southern Regional Aquaculture
Center (SRAC), Publication No.460. May.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar