Senin, 08 Oktober 2012

MAKALAH DDBDP


MAKALAH
DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN

“ Pengaruh Kedalaman Air Terhadap Kematian Massal Pada Tambak Udang di Desa Jangka Nangroe Aceh Darussalam (NAD) ”




Disusun oleh:
Ika Aulia Ramadanita             26010311130031
Lana Izzul Azkia                     26010311190092
Dicka Ayu P                           26010311130082
Mubaroq Gian Ginanjar          26010311130077
Anglauna Bainery S                26010311130055


Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
Semarang
 2012
I. PENDAHULUAN

Perairan tambak dapat dianalogikan sebagai ‘rumah’ dan lingkungan tempat dimana udang tinggal dan melakukan aktifitasnya serta berinteraksi dengan organisme lainnya. Pengelolaan kualitas air tambak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan udang berarti menyediakan tempat tinggal bagi udang sehingga udang merasa ‘betah’ hidup di dalamnya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan normal di lingkungannya. Sebagai upaya menciptakan kondisi tersebut, maka sebelum menyiapkan tempat tinggal yang nyaman bagi udang perlu dipertimbangkan sifat dan behaviour udang agar lingkungan perairan sesuai dengan karakteristik sifatnya, yaitu antara lain ;
1.Udang bersifat demersal, yaitu hidup di dasar perairan sehingga dalam pengelolaan kualitas air perlu mempertimbangkan kondisi dasar tambak yang dibutuhkan udang.
2. Udang bersifat nocturnal, yaitu aktif pada malam hari sehingga perairan tambak perlu disesuaikan dengan proses biologi, kimia, fisika dan ekologi yang terjadi di dalamnya terutama pada malam hari.
3. Udang bersifat phototaksis negatif, yaitu menghindari adanya cahaya secara langsung. Sifat ini berhubungan dengan pengelolaan kecerahan air tambak yang dapat menghalangi penetrasi cahaya secara langsung.
4. Kanibalisme, yaitu pemangsaan yang dilakukan udang terhadap udang lainnya yang lebih lemah. Sebagai usaha mengurangi terjadinya kanibalisme maka perairan tambak perlu didukung dengan ketersediaan pakan alami yang cukup dan kondisi dasar tambak memungkinkan bagi udang yang berada dalam kondisi lemah untuk berlindung dari pemangsaan.
5. Moulting, yaitu proses alami pertumbuhan udang dengan cara berganti kulit atau sebagai respons terhadap perubahan lingkungan yang bersifat drastis.Pengelolaan air tambak sedapat mungkin tidak menimbulkan guncangan terhadap keseimbangan perairan agar tidak terjadi moulting massal, karena pada saat moulting udang berada dalam kondisi yang lemah dan sangat rentan terhadap penyakit dan pemangsaan.
6.Tingkat kebutuhan udang terhadap kualitas perairan relatif berubah berdasarkan umur udang. Pengelolaan kualitas air tambak yang tidak memperhatikan kondisi, kebutuhan dan sifat udang akan menyebabkan bertambahnya tingkat ‘kegelisahan’ udang di dalam tambak dan selalu berusaha untuk keluar dari lingkungan tersebut, meskipun kualitas air tambak sudah sesuai dengan tolok ukur yang digunakan. Pada kondisi seperti ini udang menunjukkan perilaku yang tidak normal dari biasanya sebagai indikator adanya ketidaksesuaian kualitas perairan dengan kebutuhan udang. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas perairan adalah sebagai berikut :
1.Kecerahan air tambak.
2.Warna air tambak.
3.Kondisi dasar tambak
Top of Form
Bottom of Form
II. TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen kualitas air mempunyai peran yang sangat penting pada keberhasilan budidaya udang.  Air, sebagai media hidup  udang, berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan pertumbuhannya.  Kualitas air menentukan keberadaan berbagai jenis organisme yang ada dalam ekosistem tambak, baik terhadap kultivan yang dibudidayakan  maupun biota lainnya sebagai penyusun ekosistem tambak tersebut.  Kualitas air yang jauh dari nilai optimal dapat menyebabkan kegagalan budidaya, sebaliknya kualitas air yang optimal dapat  mendukung pertumbuhan dan  kelulushidupan udang.  Kriteria penentuan kualitas air terus mengalami perkembangan.  Sebelum   abad ke 20, penentuan kriteria kualitas air hanya berdasarkan pada hasil analisis fisika-kimia air.  Pada awal abad ke 20 para ahli mulai melakukan penelitian dan studi tentang biota perairan, baik mengenai individu maupun struktur komunitas (Basmi, 2000).         Pengukuran secara kualitatif maupun kuantitatif atas biota yang menghuni suatu perairan dapat  menjelaskan kondisi kualitas air perairan tersebut. Hal ini dikarenakan faktor fisika-kimia air berpengaruh langsung terhadap kehidupan biota yang ada di dalamnya.  Udang, sebagai hewan demersal, sangat dipengaruhi oleh kondisi dasar tambak, baik dari komponen abiotik maupun biotik sebagai  penyusun ekosistem tambak.  Akan tetapi, manajemen dasar tambak masih kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan manajemen kualitas air.  Banyak bukti yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sangat erat antara fenomena yang terjadi di dasar tambak dengan  kualitas air
(Boyd  et al., 2002).
Berdasarkan pada berbagai informasi yang ditemukan peneliti, diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penentuan kualitas  lingkungan tambak dan pengelolaannya  untuk budidaya udang terutama untuk menentukan tingkat kesuburan tambak sebelum penebaran benih udang. Kualitas air dalam budidaya perairan  meliputi faktor fisika, kimia dan biologi air yang dapat mempengaruhi produksi budidaya perairan (Boyd, 1990). 
Udang  sangat peka terhadap perubahan kualitas air. Kualitas air yang buruk dapat mengakibatkan rendahnya tingkat kelangsungan hidup (survival rate), pertumbuhan dan reproduksi udang.  Sebagian besar manajemen kualitas air ditujukan untuk memperbaiki kondisi kimia dan biologi dalam media budidaya (Boyd  et al., 2002).
Faktor fisika sering tidak dapat dikontrol atau tergantung dengan pemilihan lokasi yang sesuai. Faktor fisika sangat tergantung dengan kondisi geologi dan iklim suatu tempat (Boyd, 1900).
Air yang digunakan untuk budidaya udang atau organisme perairan yang lain mempunyai komposisi dan sifat-sifat kimia yang berbeda dan tidak konstan. Komposisi dan sifat-sifat kimia air ini dapat diketahui melalui analisis kimia air. Dengan demikian apabila ada parameter kimia yang keluar dari batas yang telah ditentukan dapat segera dikendalikan.  Parameter-parameter kimia yang digunakan untuk menganalisis air bagi kepentingan budidaya antara lain :  
a. Salinitas 
Salinitas dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion terlarut dalam air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan  dalam permil (°/oo) atau ppt  (part perthousand)  atau gram/liter.  Tujuh ion utama yaitu : sodium, potasium, kalium, magnesium, klorida, sulfat dan bikarbonat mempunyai kontribusi besar terhadap besarnya salinitas, sedangkan yang lain dianggap kecil (Boyd, 1990).
Sedangkan menurut Davis et al. (2004), ion calsium (Ca), potasium (K), dan magnesium (Mg) merupakan ion yang paling penting dalam menopang tingkat kelulushidupan udang.  Salinitas suatu perairan dapat ditentukan dengan menghitung jumlah kadar klor yang ada dalam suatu sampel (klorinitas).  Sebagian besar petambak membudidayakan udang dalam air payau (15-30 ppt). Meskipun demikian, udang laut mampu hidup pada salinitas dibawah 2 ppt dan di atas 40 ppt. 
b. pH  
pH didefinisikan sebagai  logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H+] yang mempunyai skala antara 0 sampai 14. pH mengindikasikan apakah air tersebut netral, basa atau asam.  Air dengan pH dibawah 7 termasuk asam dan diatas 7 termasuk basa.  pH merupakan variabel kualitas air yang dinamis dan berfluktuasi sepanjang hari.  Pada  perairan umum yang tidak dipengaruhi aktivitas biologis yang tinggi, nilai pH jarang mencapai diatas 8,5, tetapi pada tambak ikan atau udang, pH air dapat mencapai 9 atau lebih
(Boyd, 2002). 
Oksigen terlarut merupakan variabel kualitas air yang sangat penting dalam budidaya udang. Semua organisme akuatik membutuhkan oksigen terlarut untuk metabolism. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada suhu dan salinitas. Kelaruran oksigen  akan turun jika suhu dan temperatur naik. Hal ini perlu diperhatikan karena dengan adanya kenaikan suhu air, hewan air akan lebih aktif sehingga memerlukan lebih banyak oksigen. Oksigen masuk dalam air melalui beberapa proses. Oksigen dapat terdifusi secara langsung dari atmosfir setelah terjadi kontak antara permukaan air dengan udara yang mengandung oksigen 21%
(Boyd, 1990).  
Fotosintesis tumbuhan air merupakan sumber utama oksigen terlarut dalam air. Sedangkan dalam budidaya udang, penambahan suplai oksigen dilakukan dengan menggunakan aerator (Hargreaves, 2003)
III. STUDI KASUS

Ilustrasi studi kasus di Desa Jangka NAD:
Pukul 10 Pagi di tengah tambak yang mulai menyengat, pak Amir sedang memompa air tambak. Sarung dan topinya yang lusuh mendukung mukanya yang lesu. Di balik suasana yang kurang bersahabat ini ternyata telah terjadi kematian massal udang yang akan panen sekitar sebulan lagi.
Sama dengan hampir semua petambak tradisional lain, pak Amir juga tak tahu mengapa tiba-tiba udangnya mati secara massal. Kelulushidupan terutama berhubungan dengan kualitas air. Petani tradisional tak pernah dilengkapi dengan peralatan kualitas air modern. Mereka pun tak tahu cara mengukur kualitas air yang bagus secara modern.
Analisis:
Hasil pengamatan lahan dan pengecekan kualitas air dibeberapa tempat di Kecamatan Jangka (Desa Jangka Mesjid, Pante Paku, Pante Ranub) selama 24 jam memperlihatkan suatu yang memperhatinkan. Pada umumnya kedalaman air cukup dangkal sekitar 40 cm (caren keliling 70 cm)sehingga kualitas air naik turun drastis. Tambak – tambak juga kehilangan pohon mangrove/bakau sebagai penjaga iklim setempat. Ketinggian saluran keluar air yang sama atau lebih tinggi dari dasar tambak menyebabkan air tambak tidak bisa keluar total.
Dua kualitas air yang jelas terpengaruh oleh kondisi itu adalah suhu dan kelarutan zat napas dalam air (DO). Tambak yang dangkal menyebabkan suhu air mudah berubah karena massa air sedikit. Tidak adanya pepohonan disekitar tambak menambah parah naik turunnya suhu. Tambak dangkal juga mendorong pertumbuhan lumut didasar tambak (klekap) bukan tanaman renik (fitoplanton/tanaman yang sangat kecil), menurunkan produksi hewan renik (ukuran sangat kecil) dalam air dan hasilnya menurunkan hasil udang. Suhu tinggi juga menurunkan kelarutan zat napas dalam air.
Dasar saluran keluar air yang rendah juga menyebabkan pengeringan tambak tidak sempurna sehingga berakibat tinggi nya bangkai makhluk hidup didasar tambak. Bangkai makhluk hidup yang tinggi meningkatkan jumlah hewan didasar tambak. Sebagian penguraian bangkai makhluk hidup akan meningkatkan jumlah tumbuhan renik. Akan tetapi, bangkai hewan dasar tambak dan tumbuhan renik yang terlalu tinggi akan menurunkan zat napas secara drastis terutama ketika tumbuhan renik tidak menghasilkan zat napas pada malam hari atau ketika mendung.
Pada pagi hari zat napas yang larut dalam air jatuh pada level sangat rendah (+1 ppm padahal standar budidaya harus melebihi 3 ppm). Bahkan pada beberapa tambak kelarutan zat napas amat sangat rendah (dibawah 1 ppm) padahal air jernih dan kondisi air dangkal (20 cm). Ini menunjukkan bahwa banyak makhluk hidup di dsar tambak yang menggunakan zat napas. Suhu air juga cukup tinggi pada sore hari yakni mencapai 37o C. Batas syarat suhu paling tinggi untuk budidaya udang adala 32o C. Naik turunnya suhu yang drastis akan mengganggu jalannya proses kehidupan dalam tubuh udang. 
            Beberapa petani juga mengatakan bahwa banyak kegagalan budidaya udang terjadi setelah hujan. Hal ini bisa dipahami karena saat hujan keasinan air, suhu, dan keasaman air turun drastis (ditambah adanya tanah asam). 
IV. ANALISA KASUS

Kasus seperti yang telah dijelaskan pada bab studi kasus yaitu kematian massal secara mendadak pada budidaya udang yang akan dipanen tersebut disebabkan oleh faktor abiotik. Faktor abiotik yang terpenting di sini antara lain adalah suhu dan DO (Dissolved Oxygen).
Faktor-faktor tersebut juga sangat dipengaruhi oleh satu sebab yaitu pendangkalan air. Pendangkalan air yang terjadi pada tambak udang tersebut  disebabkan karena pohon bakau/mangrove di sekitar tambak yang sudah hampir tidak ada lagi padahal peran pohin bakau/mangrove pada tambak sangatlah penting yaitu sebagai pencegah intrusi laut dan sebagai penyedia bahan pakan organik bagi biota air khususnya udang yang ada dalam tambak tersebut. Namun, jika pohon mangrove/bakau saja sudah hampir tidak ada, maka bahan oakan irganik bagi udang pun semakin berkurang.
Sebuah tambak ideal harus memiliki kedalamaan ± 1-1,5 m , tetapi ada tambak tersebut ketika terjadi kematian massal hanya memiliki ketinggian sebesar 40 cm (dengan keliling caren 70 cm). Pendangkalan tambak ini sangat mempengaruhi kualitas air termasuk suhu air dan DO. Pendangkalan  menyebabkan fluktuasi suhu atau perubahan secara tidak menentu pada suhu tambak karena massa air pada tambak yang berkurang. Tidak adanya pepohonan bakau/mangrove disekitar tambak menambah parah naik turunnya suhu. Suhu yang ditemukan saat terjadi kematian massal adalah sebesar 37oC, padahal seharusnya suhu ideal untuk budidaya udang di tambak adalah sebesar 32oC. Hal ini semakin memperparah kondisi biota yang ada di dalamnya. Suhu tinggi tersebut menurunkan kelarutan zat napas dalam air yang artinya biota-biota di dalamnya khususnya udang semakin susah dalam bernapas atau semakin susah mendapatkan oksigen.
Kenaikan suhu air akan menimbulkan akibat sebagai berikut:
1)      Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun;
2)      Kecepatan reaksi kimia meningkat;
3)      Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu
Kenaikan suhu menyebabkan berkurangnya kandungan oksigen terlarut dalam air. Pada tambak yang terjadi kematian massal jumlah oksigen terlarut yang ditemukan hanya >1 ppm -1 ppm. Hal ini sangat memperburuk kondisi tambak karena ideal suatu tambak udang harus memiliki kandungan oksigen 5-8 mg/l.
Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995; Akbar, 2001)
            Tambak yang  dangkal juga mendorong pertumbuhan lumut didasar tambak (klekap), menurunkan produksi hewan renik (ukuran sangat kecil) dalam air dan hasilnya menurunkan hasil udang sehingga terjadi penurunan hasil udang bahkan mortalitas atau kematian mendadak pada budidaya udang tersebut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
            Mortalitas merupakan penyeimbang dalam suatu budidaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas antara lain adalah faktor abiotik. Dalam kasus ini faktor abiotik yang mempengaruhi adalah suhu dan DO (Dissolved Oxygen). Terjadi fluktuasi suhu secara drastis dan berkurangnya DO dalam tambak yang menyebabkan adanya kematian massal. Penyebab utama dari hal tersebut terjadi adalah karena pendangkalan air pada tambak dan berkurangnya ekosistem pohon mangrove/bakau di sekitar tambak.

4.2. Saran
            Saran atau solusi yang dapat diambil untuk mengatasi/mencegah kasus yang telah dibahas antara lain: Untuk mengurangi adanya fluktuasi suhu secara drastis dapat diatasi dengan cara meninggikan kedalaman air tambak, menanam pohon bakau/mangrove di sekitar tambak. Sedangkan untuk mengatasi berkurangnya DO (Dissolved Oxygen), air harus dijaga agar tidak terlalu keruh dengan cara menggunakan kincir air. Penempatan 1 kincir air mampu memperbaiki kelarutan oksigen pada tambak tradisional yang mengalami penurunan DO (Dissolved Oxygen).


DAFTAR PUSTAKA

Basmi, J. 1999. Planktonologi : Chrysophyta-Diatom Penuntun Identifikasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Boyd, C.E., Wood, C.W., Thunjai T. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Pond Dynamic/ Aquaculture Collaborative Research Support Programe, Oregon State university, Corvallis, Oregon.

Hargreaves, John A. 1999. Control of Clay Turbidity in Ponds. Southern Regional Aquaculture Center (SRAC), Publication No.460. May.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar